Berpuasa untuk Keledai

Bismillah,
Dahulu kala. Seorang lelaki gelisah. Sangat . sebab keledainya sakit. Keledai di masa itu adalah kendaraan yang sangat berharga. Ibarat orang sekarang, keledai itu nilainya seperti mobil. Maka ketika keledai itu sakit, tentu saja tidak bisa dikendarai. Lelaki itupun bingung. Segala cara ia lakukan agar keledainya sembuh. Saking inginnya agar keledainya sembuh, lelaki itu sampai bernadzar. Bila keledainya sembuh, maka ia berjanji akan berpuasa tujuh hari.

Begitulah. Kemudian Allah memeberi kesembuhan untuk keledai itu. Lelaki itupun senang bukan kepalang. Ia pun berpuasa seperti janjinya. Tapi, ternyata setelah selesai hari ketujuh lelaki itu berpuasa, keledai itu mati.

Maka ia pun marah. Sambil menumpahkan segala kesalnya ia berkata, “Ya Allah, engkau perlakukan aku seperti ini? Demi Allah, puasaku yang tujuh hari ini akan aku jadikan pengurang pada puasa Ramadhan nanti.”

Ini adalah kisah orang yang tidak disapa Ramadhan. Karena ia memang tidak mau disapa Ramadhan. Karna memang pada dasarnya lelaki itu tidak berpuasa untuk Allah.
Ia berjanji akan memyambut Ramadhan dengan perhitungan pedagang. Mengurangkan puasa nadzarnya atas puasa Ramadhan. Puasa baginya adalah soal tawar menawar. Bukan ketundukan, keikhlasan, apalagi penghambaan. Pada dasarnya ia tidak berpuasa secara ikhlas untuk Allah. Ia berpuasa untuk keledainya.

Lelaki itu memasuki Ramadhan dengan semangat balas dendam. Mengkompensasikan apa yang merasa jadi persembahannya di waktu lalu untuk Ramadhan. Begitulah kebanyakan orang. Ramadhan adalah kompensasi dan pelarian. Sebagian orang menjadikan Ramadhan kompensasi bagi jadwal makan hariannya. Bila siang tak makan, maka malam hari adalah saatnya balas dendam. Melahap semua yang ada.

Yang lain menjadikan puasa sebagai ajang balas dendam untuk tidurnya. Badannya yang lemah dijadikan alasan untuk mengisi hari-harinya dengan tidur dan tidur sepanjang hari. Tak ada ibadah sunnah, tak ada kebajikan. Tidur telah memenuhi seluruh hari-harinya.

Sebagian lagi menjadikan Ramadhan kompensasi atas hari-hari lainnya. Bukan dengan niat memperbanyak ibadah atau mengejar ampunan, tapi lebih sebagai kompensasi atas hari-hari lain yang penuh dengan ketimpangan. Tak apalah Ramadhan bersedekah ala kadarnya, toh pada bulan-bulan lainnya dia tak pernah bersedekah. Begitu pikirnya. Tak apalah shalat,toh pada bulan-bulan sebelumnya tidak pernah shalat. Tak apalah membaca beberapa potong ayat Al Qur’an, karna di bulan-bulan lainnya ia tak pernah membaca Al Qur’an. Begitu seterusnya. Ramadhan bukan menjadi bulan berlomba-lomba untuk amal kebaikan dan menambah ibadah. Tapi sekadar bulan kepatutan. Sekadar mengganjal seperlunya, dari bulan-bulan lain yang sangat miskin kebaikan dan ibadah.

Ada orang-orang yang tidak disapa Ramadhan, lantaran sepanjang Ramdahan ia tetap juga melakukan dosa-dosa besar. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah menjelaskan bahwa dari Ramadhan yang satu menuju Ramadhan yang berikutnya akan menjadi penghapus dosa-dosa diantara Ramadhan itu, kecuali dosa besar. Seperti shalat jum’at yang satu sampai shalat jum’at berikutnya.

Ada orang yang tidak disapa Ramadhan, lantaran ia tidak mendapat ampunan Allah. Ampunan itu sendiri akan diberikan kepada orang-orang yang benar-benar menjalankan puasa Ramadhan dengan sepenuh keikhlasan dan pengharapan. Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Barang siapa berpuasa bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.

Ada yang tidak disapa Ramadhan, lantaran puasanya hanya mendapat haus dan lapar. Lantaran tidak meninggalkan perkataan keji dan perbuatan mungkar. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji, maka Allah tidak merasa perlu dengan apa yang ia lakukan dengan meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari)

Ramadhan datang dengan segala karunia dan berkahnya. Tapi ada orang-orang yang tidak disapa Ramadhan. Lantaran orang itu sendiri yang tidak mau disapa. Atau memang tidak berminat untuk disapa Ramadhan, atau hanya memasuki Ramadhan dengan setengah hati.
Padahal seperti penjelasan Rasulullah dalam khutbahnya ketika menyambut Ramadhan, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Allah yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Bulan semulia-mulia bulan disisi Allah. Hari-harinya adalah sebaik-baik hari. Malam-malamnya sebaik-baik malam. Waktu-waktunya adalah sebaik-baik waktu.

“Wahai sekalian manusia, telah datang kepadamu Ramadhan. Bulan di mana kamu diundang menjadi tamu Allah. Dan kamu dijadikan sebagai golongan Allah yang mulia. Nafas-nafas kalian adalah tasbih. Tidur kalian adalah ibadah. Amal kalian diterima. Do’a kalian mustajab. Maka mintalah kepada Allah dengan niat yang tulus, dengan hati yang bersih, agar Allah memberi taufik kalian untuk berpuasa dan membaca kitabnya (Al Qur’an). Maka orang yang sengsara, adalah siapa yang tidak diampuni dosanya pada bulan yang agung ini…”

“Dan bertaubatlah kalian kepada Allah atas dosa-dosa kalian. Angkatlah tangan kalian dalam do’a di waktu-waktu shalat kalian. Sesungguhnya itu adalah sebaik-baik waktu dimana Allah melihat hamba-hamba Nya dengan penuh rahmat. Menjawabnya jika mereka memanggil, menyambutnya jika mereka menyeru, memberinya jika mereka meminta, dan mengabulkannya jika mereka memohon kepada Nya. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadaikan dengan amal perbuatan kalian. Maka lepaskan gadai itu dengan istighfar. Sesungguhnya punggung kalian terberati oleh dosa-dosa kalian, maka ringankanlah dengan sujud-sujud kalian yang panjang.

Setiap kali Ramadhan datang, ia datang untuk semua orang, dengan segala kebaikan dan karunia yang di bawanya. Menyapa siapa yang mau disapa. Bila ada orang-orang yang tidak disapanya, bukan Ramadhannya yang enggan, tapi manusialah yang enggan disapa.
Ramadhan datang dengan segala kemelimpahan kebaikannya. Hari ini kita masih diberi kesempatan Allah untuk memasuki bulan penuh kemuliaan ini, kita harus merenung, bertanya, jangan sampai kita tidak disapa Ramadhan, seperti lelaki yang berpuasa untuk keledainya itu.

(di nukil dari Tarbawi, edisi 141 Th.8/ Ramadhan 1427 H)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar